Kompetisi Sastra Untuk Siswa SD

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Kamis, 18 Desember 2008 04:58:56 Klik: 1971
Klik untuk melihat foto lainnya...
Minim, Perhatian Kepada Penggiat Sastra
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bakal membuat terobosan baru. Rencananya, tahun depan Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara yang menjadi Pionir Olimpiade Sastra untuk siswa SD. Hal itu mengacu pada minimnya perhatian kepada para penggiat sastra di tanah air.

’’Padahal, ada kategorisasi nobel sastra dan itu yang kami harapkan bisa dirintis para generasi muda kita,’’ ujar Direktur Pembinaan TK/SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Mudjito AK usai membuka lokakarya penyelenggaraan Olimpiade Sastra SD kemarin (17/12).

Menurut Mudjito, melalui kompetisi bidang sastra, diharapkan akses anak-anak untuk membaca buku bisa lebih luas. Kecakapan anak untuk membaca, lanjut dia, bisa terpacu karena dilatih dengan baik. ’’Dengan begitu, pada akhirnya timbul minat yang mengarah pada kebiasaan. Kondisi itu akan menimbulkan budaya baru di kalangan muda Indonesia,’’ jelasnya.

Dia mengakui, selama ini pendidikan sastra belum diajarkan secara optimal dibandingkan matematika dan sains. Padahal, pendidikan sastra sama pentingnya untuk membentuk siswa menjadi manusia yang utuh. ’’Karena pintar saja tidak cukup,’’ cetusnya. Mudjito menyayangkan anggaran pemerintah untuk memperbanyak khazanah bacaan di sekolah senilai Rp 7,1 triliun yang kurang membawa hasil.

Tiga tahun belakangan, lanjut dia, khazanah bacaan di sekolah dasar hanya berkembang 35 persen. Dengan begitu, anak-anak tak terlalu berminat membaca buku yang disediakan perpustakaan sekolah. ’’Untuk itu, kami gagas Olimpiade agar minat baca kembali terpacu,’’ sambungnya.

Sementara itu, dosen Fakultas Ilmu Budaya UI Maman S. Mahayana meminta Depdiknas bersikap hati-hati dalam penyelenggaraan Olimpiade Sastra. Hal itu dimaksudkan agar terhindar dari bentuk yang artifisial berupa penghafalan dan pengetahuan kesusastraan. Bukannya keterampilan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengungkapkannya dalam bentuk lisan dan tulisan.

Menurut Maman, cara tersebut sesungguhnya merupakan langkah efektif untuk mengembangkan kreativitas. Mereka dituntut memahami teks, menangkap makna konteksnya, dan merumuskan kembali dengan argumennya sendiri. Mereka sesungguhnya juga sedang membiasakan diri berpikir kritis, tak gampang menjadi pembebek, serta tak mudah goyah oleh hasutan dan provokasi.

Maman menambahkan, yang tak kalah penting adalah peningkatan kemampuan guru bahasa Indonesia dan akses untuk mendapatkan buku-buku sastra bermutu. Bila tidak, pengajaran sastra di sekolah tetap seperti masa lalu yang lebih menekankan pada penghafalan, bukan pada proses kreatif.

Sumber: Padang Ekspres/ (jpnn)
Edisi: Kamis, 18 Desember 2008

 
Berita Berita Terkini Lainnya