Taufiq Ismail: DI Luar Negeri Membaca bukan karena sistem pendidikan

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Rabu, 24 Desember 2008 03:59:47 Klik: 2240
Klik untuk melihat foto lainnya...

Surat Al-Alaq sudah sangat jelas memerintahkan agar manusia membaca. Membaca saudara kandungnya, menulis! Tapi kenapa anak bangsa ini selalu bermasalah dengan menulis? Karena tidak akrab dengan membaca. Padahal, perintah untuk membaca sangatlah jelas.

Perintah membaca tidak hanya untuk umat Muslim. Tapi juga manusia. Maka, manusia yang gemar membaca, belajar, ia pasti bisa menulis dan nalarnya akan cerdas. Sudah dipastikan ia akan cerdas. “Maka lahirnya Generasi Nol Buku di negeri ini. Ketika sistem dibangun tidak berpihak pada pentinya membaca dan menulis,” ungkap Taufik Ismail saat Pidato Kebudayaan 2008 di Ruang Tertutup Taman Budaya, Selasa (23/12).

Pidato Kebudayaan 2008 yang ditaja Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) tersebut memberi ruang lebih kurang satu setengah jam sastrawan itu memaparkan pemikiran yang penuh keresahan.

Resah tentang bangsa yang masih selalu bengal. Sistem pendidikan yang mengagungkan ilmu eksak. Taufik membuat dasar-dasar pernyataan yang sangat ironis, misalnya tentang wajib membaca sastra di sekolah-sekolah.

Di negara lain, siswa di 13 SMA mencintai kehidupan sastranya. Sementara, di Thailand 5 buku sastra wajib dibaca, Malaysia 6 buku, Singapura 6 buku, Brunei 7 buku, Rusia 12 buku, Kanada 13 buku, Jepang 15 buku, Jerman Barat 22 buku, Prancis 30 buku, Belanda 30 buku dan Amerika 32 buku. “Membaca sastra bukan untuk jadi sastrawan. Bukan. Tapi menumbuhkan kecintaan membaca. Membaca apa saja. Cerdas membaca akan membuat lihai menulis,” tutur Taufiq.

Membaca, baginya bukan karena sistem pendidikan, tapi karena tumbuh dari kehausan ilmu. Diceritakannya, bagaimana masa lalu Soekarno dan Hatta yang gemar membaca. Memang ada beberapa pengecualian di beberapa sekolah yang mulai tumbuh minat baca dan minat menulis yang tinggi. Tetapi itu minim. Bahkan, dari data yang dipaparkan Taufiq, seyogyanya Indonesia memiliki 200.000 ribu penulis. Namun dalam data base hanya 200 orang. Beberapa orang di antarnya telah pulang meninggal.

Latihan mengarang dan menulis di sekolah-sekolah sangat minim. Berbeda dengan masa pendidikan yang didapatkan oleh didapatkan oleh Soekarno, Hatta, Muhammad Natsir, Tan Malaka, serta M Yamin. Mereka punya latihan menulis secara intens di AMS Hindia Belanda waktu itu.

”Setelah kemerdekaan. Fenomena itu digunting habis dengan disanjungan jurusan eksak. Akibat yang terasa hari ini  adalah lahirnya tragedi generasi nol buku,” papar anak Rang Bukittinggi ini. 

Masih dengan gayanya yang khas, pria berkaca mata itu memaparkan tentang Rumah Puisi di Aie Angek Tanahdatar, antara kaki Gunung Singgalang dan Kaki Gunung Merapi, yang kini sudah beroperasi. Maka perbedaan dengan orasi budayanya akhir 2006 yang sempat mengundang banyak polemik setelah itu, pidato kebudayaan akhir tahun 2008 ini tampaknya tidak banyak yang “kena” secara langsung.

Hadir dalam kesempatan orasi, Penyair Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Maman S Mahayana, Jamal D Rahman, Marah Marzuki Saria dan penyair-penyair muda dari Sumbar. Ketua DKSB Sumbar, Dr Haris Effendi Thahar dalam sambutannya menyebutkan, pidato kebudayaan ini kegiatan DKSB yang sangat penting di akhir tahun.

Sumber: Padang Ekspres/ (Abdullah Khusairi)
Edisi: Rabu/24 Desember 2008

 
Berita Berita Terkini Lainnya