TV Keluarga, Acara Dewasa

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh wirnadianhar
Minggu, 20 Juli 2008 06:04:23 Klik: 1896
TV Keluarga, Acara Dewasa
Klik untuk melihat foto lainnya...

Di sebuah rumah keluarga kelas  menengah di pusat Kota Padang, sang ibu, Tika, memastikan sesudah Maghrib anak-anaknya selalu menonton TV hingga mereka tertidur. Ia telah berusaha untuk meminimalisir jam tontonan anak-anaknya pada prime time tersebut. Namun keinginan anak-anaknya sulit untuk dikendalikan. 

Alhasil, ia terpaksa mendampingi mereka hingga mereka tertidur. “Kalau tidak didampingi, tidak ada yang akan mengendalikan remote dan anak-anak bisa saja menonton yang belum pantas di tontonnya,” ujarnya. Namanya saja acara televisi di Indonesia menyajikan tontonan keluarga. Lihat saja, di saat-saat jam tontonan untuk semua keluarga, tak sedikit acara di stasiun TV menyajikan acara yang tak layak ditonton oleh semua keluarga. Terkecuali berita, semua tontonan pada jam keluarga berkumpul bisa dikatakan perlu ditinjau ulang kelayakannya untuk dikonsumsi keluarga sebagai hiburan atau memperkaya wawasan.

Pada umumnya, selesai Maghrib seluruh stasiun TV khususnya swasta memberikan tawaran tontonan dengan banyak pilihan. Mulai dari sinetron hingga reality show yanga terkadang terlalu mengada-ada. Wajar saja orangtua cemas dengan tontonan anak-anaknya. Sementara, perkembangan sinetron di Indonesia, berkembang pesat seiring tumbuhnya jumlah stasiun televisi. Begitu pula acara lainnya yang menawarkan keasyikan namun tak ada pembelajaran dengan belasan saluran TV berskala nasional serta ratusan jaringan stasiun TV daerah.

Mulai dari TV lokal hingga nasional, berlomba menayangkan acara terbaik agar ditonton banyak hingga ratingnya meningkat. Jika telah tercapai maksudnya ini, mereka tak akan bingung mencari mitra yang akan memakai tiap detik siarannya untuk pemasukan pendapatan dari iklan. “Betul itu. Di awal-awal acara iklannya sedikit dan sebentar. Namun, setelah kita menanti kelanjutan apakah kisah sinetron atau acara selanjutnya, eh iklannya mulai banyak dan lama,” sadar Rudi (28), salah seorang penonton TV yang menghabiskan sepertiga harinya untuk menonton TV.

Berbeda di rumah Ramli PNS di bidang hukum, lebih keras lagi. Di rumah tersebut, ba’da Maghrib jangan harap bisa menyaksikan siaran TV. Ayah tiga anak ini memilih untuk tidak menghidupkan TV pada prime time tersebut. Ia menilai, pada jam tersebut acara TV tidak lebih berkualitas dibanding sebuah komik atau stensil. “Kalau di sini TV baru hidup setelah Subuh atau pada hari libur saja. Saya tidak cemas ketinggalan berita pada malam hari, sebab pagi hari, sore atau siang lebih lengkap,” jelasnya.

Mungkin tepat keputusan yang diambil Ramli. Baginya, usai Maghrib, anak-anaknya tidak perlu lagi menonton TV. Menurut Ramli, prime time tidak digunakan untuk edukasi oleh TV. Pihak TV lebih memilih siaran hiburan yang heboh dan banyak ditonton. “Kenapa waria dipaksa menjadi laki-laki dijadikan tontonan. Gunanya untuk apa?” ujar Ramli menyebut salah satu acara di stasiun TV swasta nasional. Hampir setiap TV nasional di Indonesia menjadikan sinetron sebagai andalannya. Sayang, sebagian besar hanya menonjolkan sisi cerita dan target rating, tanpa mempedulikan efek yang ditimbulkan oleh sinetron-sinetron itu. Di temui usai shalat Maghrib, ibu-ibu yang akan melangsungkan Majelis Ta’lim, Rossi (45) bergidik dengan siaran TV saat ini.

Khas Indonesia

Khusus sinetron, ia melihat, khas Indonesia kurang mendidik. Tidak ada yang tidak menjual cerita tentang seseorang yang penuh penderitaan lahir batin. Lawan mainnya, tokoh antagonis sadis dengan akting yang berlebihan dan tidak wajar selayaknya penjahat normal. “Layaknya Cinderella, susah diawal manis di akhir, sekarang tidak masuk akal lagi kan. Tapi sayangnya penonton kita malah larut dengan bumbu tersebut,” ujarnya. Jelas tidak sesuai dengan perilaku dan gaya hidup di daerah mana pun di Indonesia. Memperlihatkan dan mengumbar kemewahan duniawi. Dan tidak memiliki pesan atau makna positif di balik cerita. Buruknya, menurut ibu yang lain, Ida (34) yang juga seorang dosen, korban sinetron atau tontonan TV secara tidak sadar akan meniru pengaruh buruk yang ia tonton di TV.

Pada dasarnya, ibu-ibu atau penikmat TV telah mencoba menghindari serial yang tidak mendidik karena hanya buang-buang waktu saja. Sayang, tidak ada pilihan tayangan televisi selain berita, dialog atau lawak lepas yang terkadang mulai basi untuk ditonton. “Kadang, kalau harus menonton berita terus-terusan rasanya akan menjemukan atau mulai bosan dan tidak ada pencerahan karena jurnalis TV mulai mengarah kepada berita hiburan yang menangkap banyak penonton,” lanjut Ida.

 

Tontonan keluarga: Sebuah keluarga di Padang sedang nonton sinetron, Maghrib kemarin. 

Lalu sampai kapan TV di Indonesia berlanjut seperti itu. Kita tunggu saja, apa sampai-sampai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) me-warning seluruh siaran TV. Lebih baik, semua orang mulai berfikir untuk lebih selektif dalam tontonan. Mulai dari sinetron sampah hingga reality show yang tidak rill perlu diganti dengan siaran yang mendidik dan lebih memberi pengetahuan serta motivasi untuk hidup lebih baik. “Namun tetap mengedepankan aspek hiburan. Bukannya menawarkan ketakutan yang tidak wajar untuk sekadar motivasi dan bimbingan keluar dari krisis ekonomi dan moral,” ujar Emeraldi Chatra, pengamat komunikasi suatu kali.

"Pembunuh" di Ruang Keluarga

Psikolog, Yuni Ussi Djohan menilai lebih ekstrim lagi. Menurutnya, siaran TV khususnya sinetron adalah pembunuh berdarah dingin di tengah ruang keluarga.  Dari beberapa hasil survei, ia mengatakan dalam satu minggu TV hanya menyiarkan 32 jam siaran khusus anak. "Sisanya, 36 jam lagi anak-anak menikmati siaran yang tidak pantas dan belum waktunya di tonton. Kalau tidak diawasi dengan baikm jelas akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak," jelasnya.

Pengaruh media, khususnya TV menurut Yuni sangat besar. Mencapai 70-80 persen pada pola hidup, tingkah laku dan kepribadian penontonnya. Buruknya, jika tidak pintar-pintar menyaring siarannya dan tidak dibekali ilmu si penontonnya, akan berdampak akan lebih parah lagi. "Perkembangan dan pertumbuhan siaran dan penontonya bagai dua sisi mata uang. Jika tidak dibekali dengan ilmu, kita tidak akan bisa memfilter siaran yang lebih spesifik sasarannya. Makanya, untuk anak-anak, perlu didampingi oleh orang tua atau dewasa yang memiliki daya saring lebih," lanjutnya.

Untuk materi siaran sendiri, Yuni memastikan didominasi program-program dengan nilai edukasi rendah. Bahkan, nyaris tidak ada. Secara norma sosial dan agama, banyak siaran yang tidak sesuai dengan mental ketimuran yang harusnya tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. “Jika anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang demikian, secara mereka akan lebih sulit untuk diajak bekerjasama. Bahkan, IQ-nya lebih rendah,” ujar Yuni mengingatkan. (*)

Sumber : Padang Ekspres, Minggu/20 Juli 2008

 
Berita Berita Populer Lainnya