Tidak Ada Guru Di Sekolah Itu, Kepala Sekolah Cuti Karena Istrinya Melahirkan

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh arif
Jumat, 14 Nopember 2008 05:26:01 Klik: 7667
Tidak Ada Guru Di Sekolah Itu, Kepala Sekolah Cuti Karena Istrinya Melahirkan
Klik untuk melihat foto lainnya...
PENDIDIKAN

Guru di Pedalaman NTT

Sejumlah siswa SD Demondei Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sedang bermain lompat tali, sebagian bermain kelereng, dan sebagian duduk bercerita dengan teman di halaman sekolah. Setelah puas bermain, mereka masuk ruang kelas, mengambil tas sekolah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kegiatan itu dilakukan hampir setiap hari.

Tidak ada guru di sekolah itu. Kepala sekolah cuti karena istrinya melahirkan di kampung asal, sekitar 10 kilometer dari Demondei. Tiga guru lain sudah dua bulan tidak masuk kelas dengan alasan mengikuti pendidikan kesetaraan strata satu melalui program Universitas Terbuka (UT) di Larantuka, ibu kota Flores Timur.

Ketiga guru itu lulus sekolah pendidikan guru (SPG), kecuali kepala sekolah yang sarjana FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang. Dengan alasan kesetaraan pendidikan, tiga guru di sekolah itu meninggalkan tempat tugas yang jauh di pedalaman untuk mengikuti pendidikan lanjutan.

Di sekolah itu masih ada tiga guru sukarela, lulus diploma pendidikan guru sekolah dasar (PGSD). Tetapi, mereka juga tidak datang ke sekolah saat guru- guru negeri tidak ada di tempat.

Ketiga guru sukarela itu tidak dibayar sama sekali. BP3 di sekolah itu tidak berfungsi. Orangtua siswa menolak mengumpulkan uang untuk membayar ketiga guru itu karena tidak punya uang.

Mereka hanya bekerja sambil menunggu jadwal tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) guru di Larantuka. Mereka berharap kepala sekolah setempat dapat memberi rekomendasi dan keterangan ”pengalaman mengajar” 2-3 tahun di sekolah itu untuk mempercepat proses pengangkatan menjadi CPNS.

Marlinda Deran (22), guru sukarela di Desa Demondei, Senin (11/8), mengatakan, kerja tanpa imbalan membuatnya tidak betah datang ke sekolah, sementara kebutuhan hidup setiap hari terus naik. Ia sudah dua tahun mengabdi di sekolah itu.

”Saya ini perempuan, butuh macam-macam. Kalau minta uang kepada orangtua, mereka selalu mengeluh, sudah biaya kuliah mahal-mahal masih minta uang, apalagi adik-adik masih banyak dan mereka butuh uang untuk sekolah,” katanya.

Memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, Marlinda harus memetik kopi, kakao, dan vanili milik orangtuanya di desa itu untuk dijual di pasar. Hanya dengan cara ini ia bisa membeli pulsa telepon seluler, bedak, pakaian, dan kebutuhan lain. Ia pun terpaksa meninggalkan kelas.

Siswa kelas V SD Demondei, Remigius Beda (8), salah satu dari 270 siswa SD setempat, mengatakan, sekitar dua bulan satu per satu guru di sekolah itu meninggalkan tempat kerja. Tetapi, orangtua memaksanya tetap datang ke sekolah dengan alasan masih ada tiga guru honor, putra asli dari desa itu yang membantu proses belajar mengajar di sekolah.

Akan tetapi, guru-guru ini pun jarang datang ke sekolah. Mereka hadir di sekolah itu selama ada kepala sekolah dan guru-guru negeri. Para guru sukarela ini tidak kreatif mengajar, kecuali mendapat penugasan dari kepala sekolah.

Menjadi dokter

Siswa SD yang bercita-cita menjadi dokter ini pun tidak tahu di mana keberadaan para guru itu. Ia berharap para guru tetap di tempat tugas sehingga kegiatan belajar mengajar berlangsung normal.

Matias Mamu, orangtua murid dari desa itu, menuturkan, orangtua siswa sangat kecewa dengan perilaku guru akhir- akhir ini. Mereka jarang berada di tempat dengan alasan ikut pendidikan kesetaraan, istri melahirkan, anak sakit, guru sakit, ikut pesta nikah anggota keluarga, dan seterusnya.

”Guru-guru itu tidak ikut program kesetaraan. Mereka kembali ke kota bertemu anggota keluarga. Mereka datang ke tempat tugas menjelang ujian kenaikan kelas atau ujian akhir. Menghindari emosi dari orangtua siswa, para guru itu sengaja memberi nilai ujian tinggi kepada para siswa,” kata Matias Mamu.

Padahal, anak-anak tidak tahu menulis, membaca, dan menghitung. Banyak anak lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak lancar membaca dan menulis.

Jika mereka ini dikirim melanjutkan pendidikan ke SLTP, banyak di antara mereka terpaksa mengulang kelas karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Pengetahuan dasar mereka sangat terbatas, bahkan tidak ada sama sekali.

Kepala Desa Peropak Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya Charles Guadolu menambahkan, dari tujuh guru di SD Peropak, lima di antaranya tinggal di Weetebula. Setiap hari mereka harus pergi ke SD Peropak menggunakan sepeda motor.

”Dalam satu pekan mereka hanya tiga kali masuk sekolah dengan berbagai alasan, misalnya ban motor pecah di jalan, anak dan istri sakit, ada hambatan pohon di jalan, dan seterusnya. Tetapi, sesungguhnya mereka berada di kota bersama istri dan anak,” kata Guadolu.

Keluhan serupa disampaikan Abdon Oematan, warga Fatumnasi, Kecamatan Napan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kualitas sekolah-sekolah dasar yang jauh dari pusat kabupaten di Timor Tengah Selatan sangat memprihatinkan. Siswa lulus SD dengan nilai memuaskan, tetapi tidak tahu tulis dan baca.

Guru-guru di pedalaman tidak berpedoman pada kurikulum. Mereka mengajar sesuai dengan selera sehingga saat siswa mengikuti ujian nasional hanya beberapa siswa yang lulus.

Kornelis Kopong Tokan, guru negeri pada SD Demondei Flores Timur, menjelaskan, guru-guru jarang masuk sekolah karena mengikuti pendidikan UT di Larantuka. Guru-guru SD di Adonara, bahkan Flores Timur, kebanyakan lulus SPG atau diploma. Di Kecamatan Wotan Ulumado, misalnya, hanya satu orang sarjana yang mengajar di SD Baniona.

Program pendidikan jarak jauh seperti UT, menurut Tokan, mengandalkan sistem teknologi informasi, sementara di daerah kepulauan fasilitas pendukung teknologi komputer tidak ada. Di Larantuka, ibu kota Flores Timur, saja sangat sulit mendapatkan internet. Satu-satunya sarana internet yang ada di Telkom Larantuka pun tidak berfungsi.

Sumber: Kompas (KORNELIS KEWA AMA)

 
Berita Artikel Lainnya