Catatan Tim SMA 6 Padang ke Osaka: Ichioka Senior Hight School, SMA Terkemuka Osaka

BAGIKAN:

facebook twitter pinterest line whatapps telegram

Oleh efim
Senin, 11 Nopember 2013 13:24:55 Klik: 4004
Klik untuk melihat foto lainnya...

Pada hari kedua tim Siswa SMA 6 Padang di Osaka Jepang mengikuti Students Forum of Unesco ASPnet in the Asia Pacific Region, 31 Okt sampai dengan 5 Nov 2013, difasilitasi berkunjung ke suatu SMA terkemuka di Osaka yaitu Ichioka Senior Hight School.

Sesuai dengan schedule kegiatan yang telah dibuat oleh panitia -- dan ternyata memang dijalankan tanpa kompromi -- delegasi negara-negara peserta dijemput ke Hotel Agora, tempat menginap. Kami terharu, sebab yang menjemput bukan satu atau dua orang, tetapi puluhan orang, sebagian besar adalah siswa-siswa SMA Jepang. Juga ada Mas Oky dan Mbak Dewi, penterjemah bahasa Jepang untuk tim kami. Siswa-siswa Jepang tidak mengizinkan kami menngangkat dan menyandang tas  dan barang bawaan. Kami disilakan berjalan tanpa beban. Mereka bergegas mengangkat tas dan barang bawaan kami.

Masing-masing delegasi negara peserta disediakan dua penterjemah bahasa Jepang ke bahasa negara asal. Ini dilakukan panitia karena dalam diskusi ternyata dominan menggunakan bahasa Jepang. Meskipun peseta menggunakan bahasa Inggris, tetapi tetap saja diterjemahkan ke bahasa Jepang. Hal ini jadi catatan bagi kami, betapa orang Jepang bangga dengan bahasanya. Apalagi dalam  forum internasional itu,  meskipun sekian ratus ribu yen mesti dikeluarkan untuk interpreter yang direkrut dari pelajar atau mahasiswa asing yang sedang belajar di Jepang.

Masing-masing delegasi negara ditetapkan satu sekolah kunjungan. Tim Indonesia, yang diwakili SMA 6 Padang -- terdiri 4 siswa yaitu Muhammad Iqbal Nur Alim, Meirosi Cahyani Priyatna, Angrei Viona Seulalae dan tazam Ibnu Hanif Multazam didampingi satu orang guru Dra. Gusnety dan kepala sekolah Drs. Barlius, MM -- dipilihkan sekolah Ichioka Senior Hight School..

Perjalanan menuju sekolah Ichioka dilakukan dengan jalan kaki. Tetapi jalan kaki hanya menuju stasiun kereta listrik. Ada tiga stasiun yang mesti kami singgahi menuju sekolah itu. Turun dari suatu kereta pindah ke kereta lain, kami mesti bisa mengikuti cara berjalan orang Jepang yang selalu bergegas-gegas. Seorang panitia yang juga pemandu kami, dengan sigap membeli tiket kereta dan membagi-bagikan kepada kami. Kami lihat semuanya serba mesin, tidak ada petugas penjual tiket, tidak ada juga petugas pengecek tiket penumpang.

Sebelum masuk ke tempat tunggu keberangkatan kereta, calon penumpang mesti melewati suatu gang,  lalu memasukkan tiket ke mesin yang disediakan. Mesin akan kembali mengeluarkan tiket yang sudah berlubang. Ketika kita akan keluar dari stasiun, tiket berlobang itu dimasukkan lagi ke mesin, kemudian tiket akan “ditelan” oleh mesin, lalu pintu dibukakan sehingga kita bisa keluar stasiun.

Memang andalan angkutan massal Jepang adalah kereta listrik. Kendaraannya  nyaman, bersih, cepat dan setiap menit selalu berhenti di stasiun. Penumpang tidak perlu berdesak-desakan karena rangkaian gerbong kereta cepat itu sangat panjang, sejauh mata memandang. Saya sempat membayangkan sekiranya angkutan massal seperti ini ada di kota Padang Tercinta. Tentu orang tidak akan berlomba-lomba memiliki mobil atau motor. Saat ini, jalan-jalan di Kota Padang sudah mengerang, “mambana” tiap saat  diinjak dan dilindas kendaraan yang  makin melimpah ruah.

Dari informasi pemandu, kami tahu bahwa Jepang konsen membangun angkutan massal, seraya memberlakukan pajak sangat tinggi kepada pemilik kendaraan bermotor. Harga kendaraan bermotor jadi sangat tinggi. Orang Jepang berpikir 1000 kali untuk membeli kendaraan. Tak  heran, jalan-jalan di Jepang lengang, tidak macet. Pesepeda dan pejalan kaki dihormati dan disediakan jalur yang nyaman dan luas.

Setelah menempuh waktu 65 menit dari kereta yang satu ke kereta yang lain, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Saya sempat disapa dengan suara lebut oleh pemandu  bahwa harus berhenti, tidak boleh menyeberangi jalan karena lampu merah menyala di seberang jalan. Saya semula heran mengapa harus berhenti padahal tidak ada kendaraan lain yang akan lewat. Sesaat  saya sadar, bahwa saya sekarang bukanlah di Indonesia yang pedomannya bukan lampu lalu lintas tetapi kendaraan lawan. Saya sekarang di Jepang, negeri yang dihuni oleh orang-orang yang taat aturan.  

Sampai di sekolah Ichioka, kami disambut oleh kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Seorang wakil kepala sekolah memegang miniatur bendera merah putih. Sekalipun bendera itu terbuat dari bahan tidak berguna, tetapi ternyata sangat bagus sehingga mampu menyentuh kesadaran nasionalisme kami.

Kami dipandu ke ruang kepala sekolah. Setelah kata-kata sambutan antara kepala sekolah dan kami, serta tukar-menukar cindera mata, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama. Kami harus bisa menyesuaikan diri dengan menu Jepang, yang serba mie, manis, jarang ada nasi. Makanan yang disajikan semuanya halal karena sebelum berangkat ke Jepang, kepada kami  dimintai penjelasan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi sebagai muslim.

Beberapa saat kemudian, tim siswa bersiap mempersembahkan performance di hadapan siswa sekolah Ichioka. Lala, Ochi, Iqbal dan Ibnu menampilkan tari rantak dengan pakaian warna kuning. Pakaian tradisional Minangkabau itu sangat indah, penuh manik-manik berwarna-warni. Semua yang hadir di aula sekolah itu terpesona menikmati tari rantak siswa-siswa SMA 6 Padang. Iringan musik tradisional Minang yang mengiringi liukan tubuh keempat siswa itu membuat hadirin bertepuk tangan. Penampilan ini memperoleh apresiasi yang meriah dari delapan ratusan siswa yang hadir.

Hari itu sepenuhnya kami habiskan di sekolah Ichioka. Kami dibawa ke kelas, mengamati bagaimana siswa-siswa Jepang belajar. Ternyata siswa-siswa Jepang sangat aktif belajar di kelas maupun kegiatan di laboratorium. Mesikipun demikian, guru bukannya duduk-duduk di kursi, tetapi hilir mudik memberikan komando dan instruksi tentang kegiatan yang dilakukan. Guru-guru Jepang sangat enerjik, seperti enerjiknya prajurit pasukan beladiri negara matahari terbit itu. Sikap enerjik itulah yang diturukan kepada siswa untuk selalu bersemangat belajar, meskipun hari sudah agak siang.

Setelah shalat Zuhur (pihak sekolah menyediakan tempat shalat di sekolah itu untuk kami), kami disuguhkan acara musik dari siswa-siswa Ichiako. Musik yang memakai terompet itu, dimainkan secara massal oleh siswa. Menurut pihak sekolah, grup musik siswa Ichioka itu sering memperoleh kejuaraan pada berbagai festival. Di samping musik modern, di sekolah itu juga ada grup music tradisional. Semua grup musik itu diikuti oleh siswa Ichioka sesuai dengan minat dan bakat masing-masing.

Berangkat sore, kami dibawa mengikuti tradisi minum teh di sekolah itu. Tradisi ini telah turun-temurun di Jepang. Di sekolah Ichioka, tradisi itu diadakan dengan ruangan yang sudah ditata khusus untuk itu. Hal ini mengusik kesadaran kami, betapa Jepang menghargai tradisi leluhur, di sekolah modern pun masih difasilitasi. Setelah itu disajikan permainan kartu khas Jepang untuk membangun keakraban antara siswa-siswa tamu dengan siswa-siswa Jepang. Kegiatan ditutup dengan suguhan performance dari grup dance siswa Ichioka Senior Hight School.

Sekolah Ichioka telah menerapkan konsep Full Day School. Kegiatan kurikuler terdiri dari tujuh sampai delapan jam pelajaran sehari, dengan tujuh atau delapan mata pelajaran. Tidak ada mata pelajaran yang disajikan lebih satu jam perhari. Antara jam pertama dengan jam kedua dan seterusnya disediakan jeda 10 menit sebagai kesempatan  guru berpindah kelas. Selesai kegiatan kurikuler pukul 15 atau 16 sore, dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Di bidang olah raga ada 32 cabang olah raga sebagai pilihan termasuk cabang sepak bola. Bagi yang berminat musik, baik modern maupun tradisional, juga difasilitasi oleh sekolah. Kegiatan ini berlangsung sampai pukul 18 sore ketika malam sudah menampakkan rupanya.

Pengalaman yang bisa diambil di sekolah terkemuka ini adalah bahwa sekolah ini telah menjadi pusat kegiatan kurikuler, bakat dan kreatifitas siswa. Sekolah menjadi tempat eksplorasi bakat positif. Semua kegiatan positif itu difasilirtasi sekolah, sehingga siswa rela menghabiskan waktu di sekolah, dari pagi sampai senja. Tidak ada ruang untuk beraksi negative di luar sekolah seperti balapan di jalan-jalan raya, tawuran dan kegiatan menyimpang lainnya. Mungkin benar juga kesimpulan, bahwa aksi siswa-siswa kita di luar sekolah yang sering mengusik ketenangan masyarakat, timbul karena mereka di sekolah tidak memperoleh pelayanan yang maksimal. Sekalipun ada pelayanan hanya tertumpu kepada aspek kurikuler saja, ekstrakurikuler terabaikan.

Hari berangkat malam, empat siswa SMA 6 Padang di arak oleh empat siswa sekolah Ichioka, home stay di rumah mereka masing-masing. Kamipun berangkat kembali ke Hotel Agora…(Barlius, Kepala SMA 6 Padang)

 
Berita Sekolah Lainnya